15 Februari 2012

Sekolah yang Mahal, Terkenal, Bergengsi dan Terakreditasi, Belum Tentu Berkualitas


From Google
Keluarga saya baru saja pindah dari kota Padang ke kota Medan, mengikuti langkah orang tua yang berpindah tempat kerja. Semua pindah, termasuk adik bungsu saya yang masih duduk di kelas 2 IPS. Dia adalah seorang anak laki-laki yang sedang menginjak masa remaja, penuh ambisi dan semangat, sangat menyukai kegiatan belajar.

Namanya adalah Seno, baru dua hari yang lalu dia masuk ke sekolah swasta yang cukup terkenal di kota Medan, tergolong sekolah elit dan mahal. Kami memilih sekolah tersebut dengan harapan bahwa sekolah terkenal itu memiliki kualitas pendidikan yang mampu mengimbangi dan meneruskan pendidikan terbaik bagi adik saya. Namun, ternyata apa yang dihadapkan pada Seno sama sekali berbeda dari ekspektasinya selama ini, dia kecewa dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah barunya itu.

Dalam tempo dua hari, dia mulai membandingkan sistem pendidikan antara sekolahnya dulu yang di Padang dengan sekolah barunya yang di Medan. Memang, bukanlah faktor kota yang mempengaruhi kualitas pendidikan dari suatu sekolah, namun faktor utamanya adalah sistem yang diterapkan.

Seno memang memilih jurusan IPS karena dia menyukai ilmu perhitungan dan ingin mendalami pelajaran itu, namun bukan berarti dia tidak mampu masuk ke kelas IPA. Perbandingan pertama yang dia dapatkan adalah sistem pemilihan jurusan tersebut. Di sekolahnya yang dulu, tidak ada perbedaan antara jurusan IPA dengan jurusan IPS, semuanya memiliki keunggulannya masing-masing dan benar-benar harus mematuhi sistem belajar yang diterapkan. Semuanya harus belajar dengan tekun. Namun, apa yang dilihatnya sejak hari pertama masuk ke sekolah yang baru adalah dia sama sekali tidak belajar! Berbeda dengan kelas IPA yang tenang mengikuti pelajaran, kelas IPS yang dimasuki Seno sangat riuh seperti pasar.

Bukan hanya itu saja, guru mereka ada di dalam kelas, tapi seakan tidak memikili wewenang sama sekali, semua siswa sibuk dengan urusannya masing-masing, bermain dan mengobrol dengan santai. Bahkan, di hari pertama itu pula, salah seorang siswa mengajak Seno bermain game Point Blank di dalam kelas! Seno tidak habis pikir kenapa seharian penuh mereka tidak belajar sama sekali.

Hari kedua, hari Selasa kemarin, Seno kembali bercerita tentang sekolah barunya. Kembali sama, mereka tidak belajar, kecuali setengah jam pelajaran Geografi dan hanya itu yang mereka pelajari. Ketika Seno bertanya kepada salah seorang temannya, dia menjawab “Ya, beginilah keadaan di kelas kami setiap hari” sambil tertawa melihat suasana kelas yang ribut.

Ada lagi yang membuat Seno keheranan, di saat jam istirahat, guru-guru mereka menggelar lapak dagangan makanan di depan kelas. Tidak ada yang salah memang, karena selama ini hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, dimana para guru mencari uang tambahan dengan melakukan hal tersebut. Ketika Seno bertanya mengapa para guru diperbolehkan berjualan di lokasi sekolah? Jawabannya adalah karena guru mereka tidak merekomendasikan makanan yang dijual di kantin, karena makanan tersebut tidak higienis. Kembali Seno mulai membandingkan, di sekolahnya dulu, tidak dibenarkan para guru berjualan, karena guru harus fokus pada sistem pendidikannya, jadi menurutnya sosok guru ya harus mengajar para muridnya tanpa diembel-embelin pekerjaan sampingan lainnya.

Seno semakin tidak bersemangat berada di sekolah barunya. Apa yang selama ini kami ekspektasikan ternyata sangat berbeda dengan kenyataannya. Meskipun saya adalah alumni dari perguruan tinggi di yayasan yang sama, namun apa yang diperlihatkan oleh adik saya sungguh berbeda dengan keadaan sistem perkuliahan yang saya jalani. Mungkin, sekolah dan perguruan tinggi tersebut berada pada satu atap yayasan yang sama tapi sistem yang diterapkan berbeda. Tapi, saya pribadi juga tidak menyangka kalau keadaannya seperti itu, dan Seno mulai merasakan keengganan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut.

Bukanlah hal baik bila kita membandingkan antara satu hal dengan hal yang lainnya, namun, bila hal itu dilakukan untuk mencari kualitas pendidikan yang lebih baik, kenapa tidak? Saya rasa apa yang dipikirkan oleh Seno adalah pemikiran perubahan dari secuil siswa yang memang menginginkan kemajuan dan kualitas pendidikan yang ditempuhnya, dan pada zaman seperti sekarang ini, tidak banyak siswa yang berpikiran jauh seperti itu. Dia hanya menuntut dan menginginkan kualitas pendidikan.

Bila saya tilik dengan kacamata awam antara kedua sekolah tersebut (sekolah Seno yang di Padang dan sekolah barunya yang di Medan), memang terdapat kejomplangan yang sangat monoton. Sekolah Seno yang di Padang merupakan sekolah warga keturunan, meskipun seperti itu, sekitar 60% siswa yang menempuh pendidikan di sekolah itu beragama Islam, selebihnya Kristen, Budha dan Hindu. Namun, justru karena perbedaan itulah mereka menjadi solid. Tidak ada agama yang mendominasi, semuanya diperlakukan sama (tentunya dalam hal pendidikan agama disesuaikan dengan aliran kepercayaan siswanya masing-masing). Menurut saya, sistem yang diterapkan di sekolah tersebut sangat bagus, karena mereka memberikan sistem poin sebagai bentuk penghargaan dan penilaian. Unik, seperti sistem pendidikan yang ada di sekolah Hogwarts pada cerita Harry Potter. Bila siswa melakukan kegiatan yang positif dan mendapatkan juara, maka poin akan bertambah, namun bila siswa melakukan kesalahan dan melanggar peraturan maka poin akan dikurangkan sesuai dengan perjanjian, dan bilamana poin siswa berada pada nominal tertentu (misalnya hanya tinggal 10 poin) maka orang tua siswa tersebut akan dipanggil dan anaknya terancam di keluarkan.

Bukan itu saja sistem pendidikan yang mereka terapkan, setiap minggu, mereka mengharuskan para siswanya mengikuti ulangan harian. Selain itu, PR pun tidak henti diberikan oleh para guru. Bila tidak mengerjakan PR, bersiap-siaplah poin siswa akan dikurangi sekian poin. Dengan adanya beberapa sistem pendidikan seperti itu, tidak ada waktu lagi bagi siswa untuk bermain-main, mau tidak mau siswa harus belajar untuk mempertahankan poinnya masing-masing. Sistem yang baik, fasilitas yang mendukung dan adanya keragaman kehidupan beragama membuat Seno merasa betah dan sudah terbiasa dengan sistem pendidikan seperti itu. Seno merasa cocok dengan karakternya dan kegemarannya untuk terus belajar.

Namun, bila kembali kepada realita saat ini, apa yang dirasakan Seno memang sangat tidak nyaman, dia merasa tidak di support dengan sistem pendidikan yang ada. Wajar rasanya bila seseorang yang sudah nyaman dengan kualitas pendidikan yang terjamin tiba-tiba harus berada di tempat yang kebalikannya. Prediksi yang akan terjadi adalah Seno merasa tidak betah bersekolah di tempat itu dan ingin pindah ke sekolah lain yang memiliki sistem lebih baik, atau, dia secara terpaksa mengikuti “kemalasan” dari teman-teman dan lingkungan barunya. Orang tua kami pun mulai berpikir kembali, berusaha memberikan apa yang terbaik bagi pendidikan Seno, karena kami ingin menjaga potensi belajar dirinya. Akhirnya, orang tua kami memberikan waktu selama 7 hari terhitung sejak hari pertama Seno masuk ke sekolah baru ini, bila tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan proses belajar dan sistem pendidikannya, maka kami akan memindahkannya ke sekolah lain yang kami anggap mampu memberikan support terhadap pendidikan yang berkualitas.

Biaya yang mahal ternyata belum tentu berkualitas. Nama yang terkenal dan bergengsi ternyata juga bukan jaminan. Dan akreditasi yang utama (A) ternyata juga bukan merupakan jaminan kualitas pendidikan. Sistem yang diterapkan dan support pendidikan yang maksimal adalah faktor penentu utama bahwa sekolah tersebut bisa dikategorikan sebagai sekolah yang berkualitas dan bisa menjaga sistem pendidikannya. Sedangkan peran orang tua dan keluarga terhadap masalah ini adalah memberikan dukungan untuk pemikiran seorang anak yang menginginkan kualitas bagi pendidikannya. Segera ambil tindakan yang tegas untuk menjaga potensi anak Anda.


150212


0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis