20 Desember 2011

Dila Terinfeksi Racun Korea

“Mbak, ajarin Dila Matematika ya…” pinta Dila, sepupu saya yang duduk di kelas 6 SD.
“OK” jawab saya.
Dila membawa satu lembar soal Matematika yang ternyata setelah saya baca adalah soal-soal untuk Ujian Akhir Semester (UAS). Ketika saya tanyakan, Dila menjawab bahwa gurunya memang yang memberikan dan menyuruh agar anak muridnya mengerjakan soal-soal UAS itu di rumah. Satu lembar kertas itu berisi soal pilihan ganda sebanyak 50 soal dan 5 soal essai.

“Dila kerjakan dulu soal-soal yang mudah, nanti kalau ada masalah dan ada yang tidak Dila mengerti baru mbak kasi tahu” begitulah cara saya mengajar, membiarkan Dila untuk berusaha lebih dulu.



Beberapa menit dia habiskan untuk mengerjakan soal nomor 1 dan 2 yang bila saya lihat adalah soal yang terbilang mudah untuk seorang pelajar kelas 6 SD seperti dia, karena soal itu hanya menampilkan proses tambah, kurang, bagi dan kali, dimana semua operasi perhitungan itu dijadikan satu. Namun, Dila terlihat bingung, setengah jam dia habiskan untuk menyelesaikan kedua soal itu. Ketika saya tanya apakah ada kesulitan, dia menjawab tidak ada, dia masih berusaha.

Ketika Dila telah mendapat jawabannya, ternyata tidak sesuai dengan pilihan jawaban yang ada pada soal UAS tersebut. Saya meneliti jalur pencarian jawaban Dila, ternyata dia tidak teliti karena ada kesalahan di sana sini, misalnya 9 x 9 = 81, tetapi Dila menulis justru sebaliknya 18. Saya kembali mengingatkan dan memperbaikinya.

Berlanjut ke soal berikutnya, Dila mulai menyerah.
“Mbak… mbak aja yang ngerjain kenapa…???” rengeknya.
“Loh, yang ujian kan kamu, mbak hanya membantu untuk ngajarin. Kapan lembar jawaban ini di kumpul?”
“Besok mbak…” ratapnya sedih karena tidak berhasil membujuk saya untuk membantunya menyelesaikan soal-soal Matematika itu.
“Nggak… mbak nggak mau ngerjainnya. Kamu yang ngerjain dan mbak yang bantuin atau ngajarin” tegasku sekali lagi.
Akhirnya Dila manyun dan ngambek, pulang ke rumahnya dan tidak menyelesaikan tugas Matematikanya.

Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Sesaat saya merasa, “Apakah saya terlalu tegas? Apakah cara mengajar saya yang salah?” . Setelah saya intropeksi kembali, bahwa sikap saya sudah benar seperti halnya seorang guru mengajarkan muridnya. Mungkin, cara berpikir Dila yang harus di rubah. Selama ini, di dalam mindset dia, kalau saya membantunya mengajar adalah bahwa saya yang harus mengerjakan semua PR sekolahnya.

Pola pikir yang sangat berbeda antara anak-anak beberapa tahun silam dengan anak-anak zaman sekarang. Miris saya. Dila adalah salah satu contoh anak-anak generasi sekarang yang pola pikirnya sudah teracuni dengan kesenangan semata tanpa memegang penuh tanggung jawabnya terhadap pendidikannya sendiri.

Mengapa teracuni? Dila adalah salah satu penggemar berat para boyband atau girlband dari Korea. Dia mengoleksi semua kasetnya, bahkan tiada hari tanpa mendengarkan atau menonton film drama Korea itu. Mulai dari gerak menari hingga cara berpakaian mereka di tiru oleh Dila. Saya pribadi tidak masalah karena ada nilai positif dari kegemarannya itu, yaitu sedikit banyak Dila bisa mengucapkan bahasa Korea. Namun, bila ditilik kembali justru kegemarannya itu menjadikannya lupa akan semua tanggung jawabnya. Dila bahkan merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk belajar karena sudah terlalu sibuk menonton atau menyanyikan lagu-lagu Korea kesukaannya.

Film drama Korea yang kebanyakan ber-genre romantis itu selalu dibumbui dengan adegan-adegan percintaan, mulai dari berpelukan hingga ke adegan ciuman. Di dalam kaset DVD, film drama itu tidak mengalami sensor sedikitpun, hingga anak-anak dengan bebasnya menonton setiap adegan percintaan itu. Karena, saya sendiri pernah memergoki Dila yang sedang menonton DVD film drama Korea di rumahnya, pintu di tutup rapat, jendela pun di tutup. Ketika saya membuka pintu, Dila merasa kaget dan terlihatlah oleh saya ada adegan ciuman di film itu.

Segala sesuatunya selalu memiliki nilai positif maupun nilai negatif, seperti halnya kegemaran akan film-film atau lagu-lagu yang berasal dari negeri ginseng itu. Tetapi, alangkah lebih bijaknya bila kita, sebagai orang dewasa yang memiliki tanggung jawab untuk membina para generasi muda, ikut ambil bagian dalam memberikan garis batasan mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang menjadi tanggung jawabnya, mana yang harus dia pahami, dan lain sebagainya.

Saya pribadi tidak menyalahkan kegemaran akan booming-nya segala sesuatu yang berbau Korea, namun saya melihat bahwa hal itu telah menjadi racun bagi seorang anak generasi penerus bangsa seperti Dila, maupun anak-anak lainnya. Semoga hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.


201211

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis