26 Desember 2011

Kesempatan Emas Untuk Celah Berkorupsi


“Pertahankan kepolosanmu karena suatu saat itu yang akan menyelamatkanmu” begitulah sebaris kalimat nasehat yang saya berikan kepada salah seorang sahabat yang terlihat masih begitu polosnya meskipun umurnya sudah lebih dari seperempat abad.

Sahabat saya itu bekerja di sebuah instansi kesehatan swasta dan menempati beberapa posisi fital, yaitu posisi yang berhubungan dengan uang. Kami sering bertukar cerita lewat jejaring sosial maupun lewat alat komunikasi yang lainnya, sehingga saya mengetahui secara detail apa saja pekerjaan yang dilakukannya.

Suatu ketika, dia merasa bimbang dan seakan sedang menghadapi masalah yang sangat rumit. Hingga akhirnya dia bercerita tentang sebuah rahasia kecil, dimana saat itu dia menerima sejumlah uang dari pihak ketiga yang bekerjasama dengan instansi tempat dia bekerja.

Dia bertanya dan terlihat bingung akan diapakan uang sebanyak itu. Setelah selama ini bersahabat, saya masih tidak menyadari bahwa dia masih begitu polosnya menghadapi hal seperti itu. Dia tahu bahwa posisinya adalah tempat yang “basah” dimana semua orang menginginkan keuntungan dari tempat itu. Tapi dia sendiri masih merasa jengah dengan tumpukan uang yang diterimanya.

Saya bertanya dan meminta dia menceritakan secara detail darimana uang itu berasal. Dengan gamblang dia menceritakan asal muasal hadirnya uang tersebut. Akhirnya saya memberikan saran bahwa tumpukan uang itu harus dikembalikan ke instansi tempat dia bekerja , bila perlu ceritakan semuanya kepada atasannya bahkan ke direkturnya. Dia menyetujui saran saya dan berjanji akan mengembalikannya ke instansi dan menjelaskan dari mana uang itu berasal kepada direkturnya.

Ternyata, uang yang diterimanya bukan hanya tumpukan itu saja, masih ada satu tumpukan lagi yang diterimanya. Kembali dia ceritakan dari mana asal uang tersebut. Saya sendiri tidak bisa mengambil keputusan akan memberi saran seperti apa untuk kasus uang yang kedua ini. Hingga kami berdua menelusuri ulang dari ujung pangkal sumbernya dan ditariklah kesimpulan bahwa uang itu adalah “upah” yang diterimanya karena telah membantu kelancaran kerjasama antara instansi dengan pihak ketiga yang lain. Lagipula, selidik punya seilidik, ternyata sudah ada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya antara pihak ketiga tersebut dengan instansi lainnya tentang pemberian “upah” tersebut.

Dia masih merasa “kaget” dengan uang yang ada ditangannya itu. Kami sadar, ternyata seperti inilah jalur perjalanan penyakti korupsi yang sebenarnya. Ternyata seperti inilah celah yang ada di dunia yang penuh dengan uang. Kesempatan itu selalu ada, tinggal berpulang kepada orangnya, apakah dia mau mengambil kesempatan itu atau tidak. Meskipun hasil yang terlihat, di Indonesia ini ternyata banyak orang yang tidak menyianyiakan kesempatan emas seperti itu, dan itulah yang membuat mereka mendapat julukan sebagai “KORUPTOR”.

Keesokan harinya, sahabat saya kembali menceritakan kelanjutan kisah setumpuk uang yang diterimanya. Dia mengikuti saran saya untuk memberitahukan dari mana uang itu berasal kepada direktur dan atasan lainnya. Reaksi mereka hanya tersenyum, mungkin heran karena melihat kepolosan sahabat saya itu. Dan beruntunglah bahwa sang direktur pun tidak mengikuti nafsunya untuk mengambil kesempatan emas yang ada, pak direktur menyerahkan uang itu kepada sahabat saya agar disimpan sebagai amanah, ditabung dan disimpan atas nama instansi, hingga kelak dapat digunakan untuk kesejahteraan para karyawan yang bekerja di tempat tersebut.

Dibutuhkan suatu keberanian dan kepolosan akan kejujuran untuk mengabarkan kepada orang lain bahwa jangan pernah menyentuh dan mengambil kesempatan emas tersebut. Celah yang kecil bila dibuka terus menerus akan menjadi celah yang besar, menjadi sebuah lubang, dimana semua orang akan dapat melihat ke arah Anda bahwa Anda telah ketahuan memakan harta yang bukan milik Anda.

Mungkin sebagian orang akan melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat saya itu adalah sebuah kemunafikan semata. “Hare gene masih menolak korupsi…?”, sungguh merupakan sebuah sindirian yang seharusnya tidak dilontarkan hanya untuk suatu perbuatan yang memiliki niat murni untuk menegakkan kebenaran.

Dia tahu apa itu korupsi tapi dia tidak mengetahui bagaimana caranya, setelah dia mengetahui caranya, dia memilih berdiskusi akan mengambil langkah keputusan apa, dan Alhamdulillah ternyata dia memilih untuk tidak mengambil kesempatan emas berupa celah yang memperlihatkan gemerlapnya uang yang bukan miliknya.


Korupsi dan semua tindakan yang menjurus kepada kejahatan berasal dari kesempatan yang ditawarkan kepada kita. Semuanya berpulang kepada diri masing-masing, apakah masih mau mempertahankan prinsip mempertahankan kebenaran meskipun pada akhirnya akan menjadi olokan semata, atau memilih mencoba dan menyicipi sedikit rasa nikmat dari ketidakhalalalan itu dan membawa pulang label seorang korupsi kemanapun Anda pergi.


261211

2 komentar:

n4be mengatakan...

keren!!! >.< *butuh tanda tangan ku ga???*

Irda Handayani mengatakan...

@nana : terima kasih :) Hhhhmmm... boleh deuh :p

Posting Komentar

ShareThis