Padat merayap menjalari jalanan, semua kendaraan tumpah ruah bercampur dengan keringat dan sumpah serapah. Berpuluh pasang mata mencari sosok pria berseragam coklat berbalut terpal mini berwarna hijau stabillo. Beribu pertanyaan keluar dari benak para pengantri jalanan, “Apa yang dilakukan para pengatur jalanan itu hingga terjadi kekacauan seperti ini?”
Emosi tak terkendali menambah riuh keegoisan dari setiap orang yang ingin menempati posisi utama agar bisa menjajal keluasan jalan raya miliknya. Tekanan dari berbagai pihak, senggol menyenggol, caci memaki, jarak yang begitu minim hingga membuka pintu pun tak bisa lagi untuk melongokkan kepala.
Ketika ada orang yang sudah tidak sabar dan menyerobot jalanan orang lain, petugas bereaksi berbeda-beda, moody-an. Bila hatinya sedang senang, maka dibiarkannya saja orang itu (meskipun jarang sekali melihat tampang senang mereka selain karena hal-hal yang memang mereka harapkan dari orang yang melanggar peraturan), bila hatinya sedang jengkel, siapapun bisa kena semprot air liur kemarahannya, tak pandang bulu semuanya akan mendapat kertas merah yang akan segera menghilang dengan jurus rahasia, bila hatinya sedang biasa saja, maka orang itu akan kena pelototan mata yang menyeramkan sambil mendapat teguran serupa.
Apakah, sekarang ini orang yang egois sudah sangat banyak? Sudah terlalu banyak hingga menghabiskan ruang oksigen di suatu negara dan semakin menyesakkan dada ibu pertiwi? Semua orang merasa benar melalui pernyataannya, penyangkalan demi penyangkalan mampu menyelamatkan seseorang yang memiliki kuasa atas ranah jeruji, semuanya bisa dibeli, semuanya bisa dibolak-balik sesuai dengan keinginan golongan tertentu.
Betapa mahal jati diri ini sekarang, hilang dan benar-benar telah rapuh tak berbekas karena rakusnya mulut dan perut akan jabatan. Menggiurkan semua orang yang mengharap berlembar-lembar kertas merah atau biru memenuhi pundi-pundi keserakahan mereka. “Hari gini masih ada yang jujur? Wah, nggak gaul tuh orang”. Sakit… semuanya sakit jiwa.
Mulai dari buah coklat, kapas kapuk, semangka, sandal, pisang, benda-benda sederhana apa lagi yang akan jadi bahan tertawaan orang luar? Dengan mulut lebar mereka tergelak dengan senang melihat ketimpangan dan ketidakbecusan keadilan yang terpampang di negeri ini. Bahkan sepertinya Pancasila sebagai ideologi tertinggi bangsa pun tidak bisa menyelamatkan pusat kehancuran yang dibangun sendiri, secara sadar atau tidak sadar, secara tuli beneran atau tuli-tulian.
Burung garuda yang selalu terbang gagah melindungi kura-kura hijau pun mulai hilang ditelan awan hitam kebohongan, pencurian, ketidakadilan, keserakahan, penipuan, kerakusan, dan berbagai sifat setan lainnya. Mulut yang sering berkomentar dan mengeluarkan kritikan tajam bak jarum menghantam tembok beton, tidak akan terasa apapun.
Ah, aku rindu pada negeriku yang dulu terasa sangat damai dan tenang. Aku rindu dekapan mesra ibu pertiwi kepada seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu. Aku rindu dan sangat rindu pada rangkaian kebangsaan yang selalu mampu membuatku bangga menatap bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menengadahkan wajah menghadapnya yang sedang berkibar anggun tertiup angin. Aku rindu…. Benar-benar rindu Indonesia-ku…. Meskipun banyak yang sudah merasa patah hati tapi jauh di dalam lubuk hati mereka, Indonesia selalu indah dan akan selalu bangga dengan Indonesia, tanah air ibu pertiwi…..
100112
0 komentar:
Posting Komentar